Oleh: Muhamad Uut Lutfi, S.H.,M.H.

Kekerasan seksual terhadap Anak hampir setiap hari terjadi. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak Republik Indonesia  (KemenPPPA RI) Tahun 2023 tercatat 18.175 kekerasan terhadap anak, dengan rincian; 4.410 kekerasan fisik, 4.511 kekerasan psikis, 10.032 kekerasan seksual, 260  eksploitasi, 206 TPPO, 1.322 penelanta dan 2.507 lainnya  Gambaran data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan kekerasan jenis lainnya.

Kekerasan seksual atau seringkali disebut dengan kejahatan seksual merupakan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, oleh karenanya dapat dianggap sebagai kejahatan berat. Kekerasan seksual sejatinya adalah tindakan yang bertujuan menyerang seseorang berdasarkan seksualitasnya di mana pelaku memiliki kekuasaan lebih dibanding korban hal ini berdasarkan jenis kelamin atau umur dan atau status sosial ekonomi dalam masyarakat . Begitupun dengan kekerasan seksual pada anak adalah segala sesuatu yang berbentuk pemaksaan dan pemerasan, atau dalam bahasa sederhananya kekerasan seksual adalah hubungan seksual yang tidak diingini oleh salah satu pihak.

Tindak pidana kekerasan seksual sangat mencemaskan, terlebih jika korbannya adalah anak-anak karena hal tersebut akan mempengaruhi psikologis perkembangan anak dan menimbulkan trauma seumur hidupnya. Anak sangat perlu dilindungi dari berbagai bentuk kejahatan yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental, dan rohaninya. Anak juga lebih mudah dieksploitasi,  ditipu  dan  dipaksa  dibandingkan dengan orang  dewasa.  Tergantung  dari  tingkat perkembangan mereka, anak-anak tidak mengerti  secara  keseluruhan  sifat  dasar seksual dari tindakan tertentu dan mereka tidak mampu memberikan persetujuan sendiri.

Anak adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dirawat yang kelak dikemudian hari menjadi pewaris dalam keluarga dan penerus bangsa ke depan. Anak adalah aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan besar sabagai generasi penerus bangsa. Peran strategis ini telah dikenal oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah deklarasi dan konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai mahkluk yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak: “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” . Dapat disimpulkan bahwa, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun yang belum mampu bertanggungjawab terhadap diri-sendiri dan masih berada di bawah tanggungan orang lain yaitu keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia yang berkualitas.

Menurut Haditono  berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.  Berdasarkan terminologi tersebut dapat digarisbawahi bahwa anak adalah manusia muda (umur muda) yang mudah terpengaruhi oleh lingkungan sekitar oleh karena itu membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Apabila tempat dan lingkungan yang positif, maka anak tersebut akan berperilaku positif. Namun apabila tempat dan lingkungannya negatif maka kemungkinan besar anak tersebut akan berperilaku negatif. Adapun secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan sel telur seorang perempuan yang disebut ovum dengan spermatozoa dari laki-laki yang kemudian menjadi zygot, lalu tumbuh menjadi janin. Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.

Sebagaimana disampaikan dalam latar belakang permasalahan, bahwa saat ini banyak kasus kekerasan seksual menimpa usia anak, tidak hanya anak sebagai korban dan saksi akan tetapi pelakunya masih kategori usia anak. Beberapa ahli viktimologi mengartikan apa yang dimaksud dengan korban. Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. Selain itu menurut van Boven yang dimaksud dengan korban adalah orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi ataupun perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).

Selanjutnya Arif Gosita  menyatakan bahwa korban kekerasan perlu mendapatkan hak-haknya, sebagaimana di bawah ini:

  1. Mendapatkan ganti kerugian atau penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi ganti kerugian pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan dilikuensi tersebut.
  2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukannya).
  3. Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.
  4. Mendapat membinaan dan rehabilitasi.
  5. Mendapat hak miliknya kembali.
  6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi saksi.
  7. Mendapatkan bantuan penasihat hukum.
  8. Mempergunakan upaya hukum (rechtmidden)

Berdasarkan Pasal 59 ayat (2) huruf j diatur pada Pasal 69A dilakukan melalui upaya:

  1. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;
  2. rehabilitasi sosial;
  3. pendampingan psikolososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan
  4. pemeberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sodang pengadilan.

Berdasarkan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak bahwa Anak Korban berhak atas:

  1. upaya rehabilitasi medis dan rahabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;
  2. jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
  3. kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Berdasarkan  Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, bahwa Korban berhak mendapatkan pendampingan yang meliputi (Presiden RI 2022).

  1. Petugas LPSK;
  2. Petugas UPTD PPA;
  3. Tenaga kesehatan;
  4. Psikolog;
  5. Pekerja sosial;
  6. Tenaga kesejahteraan sosial;
  7. Psikiater;
  8. Pendampingan hukum, meliputi advokasi dan paralegal;
  9. Petugas Lembaga Penyedia layanan Berbasis Masyarakat; dan
  10. Pendamping lain.

Selain itu, Korban kekerasan seksual berkah mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan sebagaimana diatur pada Pasal 71D ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Aanak dan Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2022 tentang TPKS (Presiden RI 2014).

Dalam upaya pencegahan kekekerasan seksual terhadap Anak, menurut World Health Organization (WHO et.al. 2017) ada beberapa cara , diantaranya:

  1. Merancang program bagi pelaku kekerasan seksual dimana pelaku harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya seperti menetapkan hukuman yang pantas bagi pelaku kekerasan seksual.
  2. Memberikan pendidikan untuk pencegahan kekerasan seksual seperti pendidikan kesehatan reproduksi, sosialisasi mengenai penyakit menular seksual, dan pendidikan perlindungan diri dari kekerasan seksual.

Sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak anak, perlu dilakukan intervensi layanan, diantaranya adalah:

  1. Intervensi Primer: ditujukan kepada seluruh masyarakat, misalnya pendidikan dan peningkatan kapasitas orang tua, promosi identitas legal dan pencatatan kelahiran, peningkatan gizi, kelompok bermain, telpon bantuan, dan lain-lain.
  2. Intervensi Sekunder: ditujukan kepada anak dan keluarga yang rentan atau beresiko, seperti pendidikan pengasuhan (parenting education), layanan konseling, home visit, tempat pengasuhan anak sementara, memberikan dukungan finansial, mediasi keluarga dalam penanganan konflik, asesmen resiko dan kebutuhan anak, asesmen psikososial anak dan keluarga, bantuan perlindungan sosial, pencatatan kelahiran, dan lain-lain.
  3. Intervensi Tersier: ditujukan kepada anak yang telah mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran. Misalnya dengan layanan: pengobatan, rehabilitasi psikososial, penempatan anak dalam pengasuhan di luar keluarganya ketika keluarganya dinilai tidak lagi aman bagi anak, manajemen kasus, bantuan perlindungan sosial, reunifikasi keluarga, dan lain-lain.