Tingkatkan Respon Kesehatan Hadapi Bencana
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten menggelar Sosialisasi Gizi Bencana 2022 di Aula PUPR Provinsi Banten, Rabu (16/3). Acara tersebut dihadiri oleh berbagai lintas sektor di delapan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten, dengan narasumber dari BPBD Provinsi Banten, dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI).
Kepala Dinkes Provinsi Banten, Ati Pramudji Hastuti mengatakan, bencana yang terjadi dapat menimbulkan berbagai macam masalah, tak terkecuali meningkatnya angka kurang gizi, hingga kekurangan gizi kronis. Maka dari itu dibutuhkan respon Kesehatan yang cepat guna mencegah angka mortalitas dan morbiditas.
“Dalam hal gizi, fokus utama ada pada intervensi gizi spesifik yang telah terbukti efektif dalam mengurangi mortalitas dan morbiditas yang terkait dengan kekurangan gizi,” katanya.
Ia menuturkan, respon kesehatan dibagi dalam dua bagian, pertama respon jangka pendek, tujuannya untuk mencegah dan mengurangi kelebihan morbiditas, kekurangan gizi dan kematian. “sementara tujuan jangka panjang adalah meningkatkan ketahanan masyarakat dalam hal kesehatan dan gizi, baik secara individu maupun komunitas,” ujarnya.
Maka dari itu, kata Ati untuk mencapai hal tersebut, tentu saja membutuhkan upaya kesiapsiagaan, termasuk memastikan tersedianya struktur di tingkat daerah yang dapat memberikan respon secara cepat dan tepat saat terjadinya bencana. “struktur yang mumpuni tentunya membutuhkan sumber daya yang memiliki kapasitas, baik manajemen maupun teknis gizi bencana, yang dengan cepat dapat segera melakukan respon bencana,” terangnya.
Ati menjelaskan, berdasarkan grafik bencana dari BPBD Provinsi Banten pada tahun 2017 sampai 2021 terdapat 1.013 bencana di Provinsi Banten dengan jumlah bencana terbanyak di Kabupaten Serang yaitu sejumlah 458 bencana.
Kemudian, terdapat sembilan ancaman bencana di Indonesia yang disebabkan oleh fenomena alam yaitu, gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrem, dan gelombang ekstrem dan abrasi. selain itu, terdapat ancaman bencana yang disebabkan oleh faktor non alam seperti konflik sosial dan pandemi corona virus disease-19 (Covid-19).
“Maka penangan bencana mengalami perubahan paridigma dari responsif menjadi preventif, dari sektoral menjadi multi sektor, dari tanggung jawab pemerintah semata menjadi tanggung jawab bersama, dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana,” tuturnya.
Ia menyebutkan, standar pelayanan minimal bidang kesehatan telah menetapkan dua jenis pelayanan dasar kesehatan di tingkat provinsi, yang mencakup pelayanan kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana atau berpotensi bencana, dan pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi kejadian luar biasa. “Kapasitas daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan parameter penting untuk menentukan keberhasilan untuk pengurangan risiko bencana dan merupakan salah satu dasar untuk upaya pengurangan risiko bencana,” ungkapnya.














