Anggota Komisi V DPRD Provinsi Banten, Komarudin menandatangani rekomendasi penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Langkah tersebut diambil sebagai jawaban dari tuntutan ratusan buruh yang tergabung dalam Komfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) se-Banten saat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Banten, Selasa, 3 November 2015.

Adapun isi rekomendasinya, antara lain meminta kepada Presiden, Joko Widodo untuk mencabut PP tersebut. “Rekomendasi yang sudah saya tandatangani ini akan diberikan langsung kepada bapak Presiden,” kata Komarudin di sela-sela audiensi dengan perwakilan pengunjuk rasa di Ruang Rapat Komisi V DPRD Provinsi Banten didampingi para pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Banten.

Menurut Komarudin, aspirasi buruh yang menolak PP Pengupahan ini harus didengar oleh pemerintah, sehingga ia berharap kepada Presiden untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut. “Dikarenakan PP Pengupahan ini dibuat oleh Pemerintah Pusat, saya mengharapkan kepada bapak Presiden untuk bisa menindaklanjuti rekomendasinya,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Ketua DPC KBSI Kabupaten Serang, Amir Sanusi menyambut baik dan mengaku bangga dengan sikap yang ditunjukan Anggota Komisi V tersebut. “Kami menyambut baik dan mengapresiasi langkah yang dilakukan bapak Komarudin, karena penandatanganan rekomendasi penolakan PP Pengupahan ini merupakan bukti Komisi V bisa memperjuangkan aspirasi buruh,” kata Amir.

Menurut Amir, alasan penolakan PP Pengupahan disebabkan Pasal 43 Ayat (1) dalam PP tersebut menyatakan, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktifitas dan pertubuhan ekonomi. “Kami menilai Pasal itu bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dimana tiap-tiap warga negera berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian,” jelasnya.

Ditambahkan Amir, aturan penetapan upah minimum itu sudah tertinggal dan tidak sesuai dengan kebutuhan buruh. “Kami lebih sepakat penetapan upam minimum kabupaten/kota, dan Provinsi ditentukan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang dilakukan Dewan Pengupahan, bukan ditentukan dari pertubuhan ekonomi,” katanya. (DPRD Provinsi Banten/Adv)