Foto: Istimewa

Serang – Kepala Dinas Pertanian Provinsi Banten Agus Tauchid mengatakan produksi kedelai di Provinsi Banten saat ini masih rendah. Kebutuhan kedelai saat ini, kata Agus, masih bergantung pada impor. Menurut Agus, salah satu upaya yang dilakukan Pemprov Banten untuk peningkatan produksi kedelai lokal adalah memberikan bantuan benih dan sarana produksi kepada petani kedelai seluas 2.050 hektar.

Agus menjelaskan, pihaknya terus berupaya untuk meningkatkan produktivitas lahan dan petani kedelai. Diantaranya dengan program perluasan area tanam baru yang tahun ini bakal memberi kontribusi lebih pada sektor kedelai.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Banten terus mendorong peningkatan produksi kacang kedelai untuk kebutuhan bahan baku pembuatan tempe dan tahu, sebagai salah satu upaya stabilisasi harga kedelai yang saat ini harganya mencapai Rp10.200/kg. Bantuan tersebut bersumber dari anggaran Pemerintah Pusat dan Pemprov Banten. Selain itu, pembinaan kepada petani secara kontinyu terus dilakukan, khususnya dalam hal penanganan pascapanen.

“Kedelai lokal yang dihasilkan petani Banten memiliki ukuran yang bervariasi sehingga lebih banyak diserap oleh industri tahu. Sementara untuk industri tempe tidak dapat banyak menyerap karena memerlukan ukuran kacang yang sama. Upaya yang dapat dilakukan petani adalah sortir kedelai yang dipanen, yang berukuran besar dipasarkan ke industri tempe dan sisanya dipasarkan ke industri tahu,” kata Agus Tauchid.

Ia mengatakan, pemberian bantuan benih dan sarana produksi sebenarnya sudah dianggarkan di Tahun 2020, namun karena adanya refocusing anggaran, maka bantuan tersebut kembali dianggarkan pada 2021.

Terkait dengan naiknya harga kedelai, kata Agus, itu disebabkan Indonesia saat ini masih bergantung pada kedelai impor, sementara harga kedelai dunia sedang mengalami kenaikan. Karenanya dibutuhkan koordinasi semua pihak untuk meningkatkan penyerapan pasar terhadap produksi kedelai lokal.

Menurut Agus, kualitas kedelai lokal lebih baik karena umumnya kedelai yang tersedia adalah kedelai yang baru saja dipanen sehingga lebih segar, sementara kedelai impor biasanya sudah disimpan bertahun-tahun. “Kedelai yang berukuran kecil sebenarnya lebih banyak mengandung protein dan rasanya lebih gurih. Selain itu, kedelai lokal merupakan kedelai asli hayati dan bukan kedelai transgenik seperti kedelai impor. Kedelai yang ditanam di negara-negara maju 80 persen adalah organisme yang telah dimodifikasi secara genetik (GMO),” kata Agus.

Terkait dengan pengembangan kedelai lokal saat ini masih terkendala dengan penyediaan benih yang siap tanam, karena teknologi benih kedelai masih jauh tertinggal dibandingkan dengan teknologi tanaman pangan lainnya. Salah satunya adalah masa dorman benih kedelai lebih pendek yakni hanya 2 (dua) bulan, sedangkan benih lainnya seperti padi relatif panjang yakni 6 (enam) bulan

“Permasalahan lainnya selain faktor benih adalah motivasi petani menanam kedelai harus terus ditingkatkan mengingat harga jual yang diterima petani masih dibawah Rp7.000 per kilogram, sementara harga ‘overhead cost’ minimal Rp7.700 per kilogram.” kata Agus. (Mat/Red)