Serang – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Maretta Dian Arthanti mengunjungi para perajin tahu dan tempe di Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, Rabu 17 Maret 2021.

Dalam kesempatan itu, Maretta menerima keluhan dari para perajin terkait harga kedelai yang tidak kunjung stabil selama enam bulan terakhir. Menurut Maretta, kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe, membuat pelaku usaha produsen tahu dan tempe di Banten menjerit. Pasalnya harga kedelai dari semula Rp7.000/kg, kini harganya melonjak dalam jangka pendek hingga 10.200/kg.

Maretta mengatakan, semua pengrajin tempe dan tahu di Banten mengeluhkan harga kedelai yang mengalami kenaikan sejak akhir tahun 2020 hingga saat ini. Bahkan awal 2021, pernah terjadi peningkatan harga kedelai sampai empat kali lipat hingga Rp30 ribu per/kg.

“Kedelai adalah bahan baku utama bagi perajin tempe. Kenaikan yang begitu besar sangat berdampak terhadap ekonomi perajin tempe se-Banten, mereka menyampaikan keluhannya ke Komisi II,” kata Maretta.

Menurutnya, dampak pandemi terhadap ekonomi sangat berat. Masyarakat secara umum mengalami penurunan kemampuan konsumsi termasuk konsumsi makanan harian. Salah satu yang menjadi penyelamat asupan protein bagi rakyat dengan harga terjangkau adalah tempe dan tahu.

“Kenaikan harga kedelai yang dialami perajin di Banten, tak hanya memukul margin perajin, namun juga berpotensi mengganggu kontinyuitas supply tempe bagi masyarakat menengah bawah. Pemprov jangan diam saja. Ini masalah rakyat kecil yang butuh perhatian,” tegasnya.

Berdasarkan data dari Kopti Serang, lanjut Maretta, sejak kenaikan harga kedelai enam bulan lalu, Kopti Serang hanya mampu memproduksi 50 kg kedelai per hari dengan keuntungan saat ini hanya bisa mencapai 50 persen dari keuntungan sebelum kenaikan harga. Padahal sebelum harga kedelai naik,mampu memproduksi 100 kg per hari.

“Pengrajin juga tidak bisa menaikkan harga jual karena tidak ada konsumen yang mampu membeli tempe tahu hasil produksinya. Konsumen tahu dan tempe mayoritas adalah menengah bawah. Akibatnya, produksi sangat elastis terhadap harga. Jika ada kenaikan harga produk, konsumsi akan turun. Ini yang dirasakan perajin,” urainya.

Masih cukup beruntung bagi pengrajin tahu tempe yang tergabung dalam Kopti Serang, karena Kopti masih memiliki kebijakan untuk memberikan pinjaman bagi anggotanya karena dampak kenaikan harga kedelai. Bila tidak, maka biasanya pengrajin bisa terlilit hutang pada rentenir.

“Perlu dipastikan bantuan usaha kecil pemprov bisa menyasar ke perajin tahu tempe. Pemprov juga wajib mengajak serta kota dan kabupaten di Banten untuk serentak turun membantu perajin tahu tempe,” pungkas Maretta.

Kepada Maretta, Ketua Kopti Serang Dadan mengaku Kopti tetap berkomitmen memberikan bantuan bagi anggotanya, meskipun kenaikan harga kedelai berimbas pada pendapatan perajin tahu tempe.

“Saat ini pasar terlalu bebas menentukan harga dari importir. Fungsi pengawasan terhadap harga yang berkembang cenderung tidak terkontrol karena harga terkesan dibiarkan ditentukan oleh importir. Ketika terjadi kenaikan harga seperti ini, Kopti hanya bisa pasrah menerima harga yang ada,” keluhnya.

Dadan berharap, Pemprov Banten turun tangan membantu perajin tahu tempe, sebab harga kedelai bukan kewenangan kabupaten/kota.

“Pemprov Banten harusnya membantu perajin. Permintaan kami agar harga kedelai dapat kembali di level Rp7000 per kilogram, jangan sampai lebih dari itu. Beri kepastian standar harga kedelai yang dijamin pemerintah,” kata Dadan. (Adv)