Oleh: Dini Handayani

Hukum waris Islam merupakan hukum yang hidup dalam masyarat Indonesia sejak masa lalu, dan pelaksanaannya merupakan keharusan bagi setiap muslim karena dalam hukum waris dikenal asas ijbari, yaitu hukum waris Islam secara otomatis berlaku atas peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Dalam arti lain pelaksanaan waris Islam melekat bagi setiap muslim dan pelaksanaannya merupakan suatu ibadah kepada Allah. Berkaitan dengan  hukum waris Islam khususnya permasalahan hibah melebihi sepertiga yang diberikan orang tua kepada anaknya,  sebagaimana yang diatur pada ketentuan yang ada, apakah dapat ditarik kembali karena merugikan ahli waris lainnya belum memiliki kepastian hukum yang cukup bagi hakim dalam memutuskan perkara-perkara tersebut. Aturan terkait waris Islam khususnya terkait hibah diatur pada Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES).

Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2020 mencatat ada 154 beban perkara hibah yang ditangani Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, akumulasi perkara tahun 2019 yang belum diputus dan perkara masuk tahun berikutnya. Dilihat dari jumlah dan jenis perkara, hibah menempati posisi ke-10 dari 22 item perkara yang ditangani lingkungan Peradilan Agama. Pada tahun yang sama Mahkamah Agung menangani 23 perkara hibah di tingkat kasasi.[1] Kenyataan di masyarakat, cukup banyak permasalahan berkaitan dengan hibah yang diberikan orang tua kepada anak saat orang tua masih hidup atau pun hibah kepada kerabat yang bukan keluarga, hibah melebihi 1/3 dari harta pewaris tanpa persetujuan ahli waris lainnya, serta permasalahan terkait hibah lainnya. Banyaknya kasus terkait hibah dan pembatalannya, namun hukum tertulis yang ada masih terbatas, sehingga untuk mengatasi kekurangan hukum tertulis tersebut, perlu mensiasati agar hal tersebut tidak tampak ke permukaan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat.

Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.[2] Dalam Pasal 171 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan hibah adalah pemberian sesuatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Para ulama dalam Madzhab Hanafi menjelaskan bahwa rukun hibah itu hanya ijab dan qabul saja. Adapun rukun hibah menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat, yaitu antara lain: a. adanya orang yang memberi (al-waahib). b. adanya orang yang diberi (al-mauhuublah). c. adanya benda yang diberikan (al- mauhuub). d. sighat atau semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul.[3]

Hibah yang diberikan dari ayah kepada anaknya yang dilakukan tanpa sepengetahuan ahli waris lainnya, dan melebihi aturan bertentangan dalam Islam, yaitu hibah tidak boleh melebihi 1/3 dari harta pewaris sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW. berkaitan dengan wasiat:

bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang menjenguknya di Makkah, kemudian dia pun menangis hingga menjadikan Nabi bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Sa’d menjawab, “Saya khawatir akan meninggal dunia di tempat kelahiran yang pernah kutinggalkan, sebagaimana meninggalnya Sa’d bin Khaulah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdo’a: ‘Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.’ – tiga kali-. Sa’d lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki harta yang banyak, dan hanya puteriku satu- satunya yang menjadi ahli warisku, bagaimana jika saya mewasiatkan seluruh hartaku?” beliau menjawab: “Jangan.” Sa’d bertanya lagi, “Bagaimana jika dua pertiganya?” beliau menjawab: “Jangan.” Sa’d bertanya lagi, “Bagaimana jika setengahnya?” beliau menjawab: “Jangan.” Sa’d berkata lagi, “Bagaimana jika sepertiganya?” beliau menjawab: “Sepertiga, sepertiga sudah banyak. Sesungguhnya harta yang kamu sedekahkan pasti akan mendapatkan pahala, sekalipun yang kamu belanjakan untuk keluargamu dan yang dimakan isterimu. Jika kamu tinggalkan keluargamu dalam keadaan baik -atau sabdanya- kaya, itu lebih baik daripada kamu tinggalkan mereka meminta-minta kepada orang banyak dan menadahkan tangannya.”[4]

Dalam riwayat Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa kalau orang-orang ingin mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi seperempat harta, maka demikian itu lebih baik, karena Rasulullah bersabda, “sepertiga saja maksimal, karena sepertiga itu sudah banyak.”[5]

Harta yang di terima anaknya dari ayahnya semasa hidup melebihi dari sepertiga harta warisan atau tirkahnya dan tanpa sepengetahuan dari ahli waris lainnya beberapa kasus mendapat putusan  hakim tidak sah, sehingga dianggap batal demi hukum dan dapat ditarik kembali sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :

  • Orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki
  • Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah

Selain hal tersebut dalam Pasal 211 menyatakan “Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan” dan dalam Pasal 212 KHI menjelaskan “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

Berdasarkan hal tersebut, Pemberian hibah melebihi dari 1/3 dari tirkah merupakan hal yang menyimpang dalam aturan Islam maupun dalam KHI, jika dilakukan tanpa persetujuan bersama ahli warisnya. Berdasarkan hal tersebut, hibahnya tidak sah dan batal demi hukum, serta dapat ditarik kembali karena harta benda yang dihibahkan melebihi 1/3 dari tirkah pewaris, dan tanpa sepengetahuan serta persetujuan dari ahli waris lainnya yang menyebabkan ketidak adilan bagi ahli waris lainnya. Berdasarkan hal tersebut hibah yang telah diberikan oleh ayah atau ibu kepada anaknya dapat ditarik dan diserahkan kepada bagian ahli waris lainnya sesuai fardnya masing-masing sebagaimana aturan ahli waris yang telah ditentukan dalam Islam.

Pembatalan atau penarikan hibah kembali atas suatu pemberian (hibah) merupakan perbuatan yang dilarang, meskipun hibah tersebut terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami-istri, adapun hibah yang boleh ditarik kembali hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orangtua kepada anaknya. Dalam. riwayat lain Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. Pernah berkata bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang memberikan suatu pemberian kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Hadits tersebut shahih oleh At- Tarmizi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, An-Nasa dan Ibnu Majah. Imam Malik dan jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah  dapat mencabut kembali kepada anaknya, selama anak tersebut belum kawin, atau belum membuat utang dan belum terkait hak orang lain atasnya. Pendapat Imam Ahmad dan Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menarik kembali apa yang telah dihibahkannya kepada seseorang kecuali apa yang telah dihibahkannya kepada mahramnya.[6]

Permasalahan hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya yang biasa dianggap warisan atau hibah biasa mempunyai implikasi hukum yang berbeda. Pertama, apabila hibah tersebut diperhitungkan sebagai warisan, sangat tergantung kepada kesepakatan anak-anaknya, atau diperhitungkan sebagai sistem waris yang digunakan. Karena perdamaian justru lebih baik dibandingkan melalui jalur pengadilan. Kedua, apabila pemberian itu dinilai sebagai hibah saja, maka menurut petunjuk Rasulullah pembagiannya harus rata. Hal ini ditegaskan oleh tindakan Nabi “jika anak-anakmu yang lain tidak engkau beri dengan pemberian yang sama, maka tarik kembali.[7]

Saat ini, selain Kompilasi Hukum Islam, aturan tentang hibah diatur lebih rinci pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah telah memberikan penjelasan tentang hibah yang cukup rinci yaitu dalam Buku III Bab IV pada Pasal 692 – 734. Berkaitan dengan Pembatalan atau penarikan hibah secara khusus diatur pada Pasal 716- 734 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Mengenai Pembatalan atau penarikan Hibah pada dasarnya tidak diperbolehkan kecuali adanya persetujuan dari penerima hibah sebagaimana tercantum dalam Pasal 719 yang menyatakan bahwa “Pemberi hibah dapat menarik kembali harta hibahnya setelah penyerahan dilaksanakan, dengan syarat adanya persetujuan dari penerima hibah”. Selanjutnya dalam Pasal 720 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyatakan :

“jika seorang pemberi hibah menarik kembali barang hibah yang telah diserahkan tanpa adanya persetujuan dari penerima hibah, atau tanpa adanya keputusan Pengadilan, maka pemberi hibah adalah orang yang merampas barang orang lain; dan apabila barang itu rusak atau hilang ketika berada ditangannya, maka penerima hibah harus mengganti kerugiannya”.

Dalam Pasal 721 aturan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyatakan bahwa “Jika seseorang memberi hibah sesuatu kepada orang tuanya atau anak- anaknya, atau kepada saudara laki- laki atau perempuannya, atau kepada anak-anak saudaranya, atau kepada paman- bibinya, maka pemberi hibah tidak berhak menarik kembali hibah tersebut setelah adanya transaksi hibah”.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa hibah yang sudah diberikan setelah adanya transaksi maka hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali kecuali penerima hibah menyetujuinya. Namun berkaitan dengan pemberian hibah melebihi sepertiga dan merugikan ahli waris belum terdapat ketentuan hukum yang pasti, tidak ada aturan yang pasti terkait hal tersebut artinya masih terjadi kekosongan hukum. Berdasarkan hak tersebut diperlukan suatu aturan hukum untuk mendapatkan kepastian hukum, sehingga tercipta keadilan dalam menyelesaikan permasalahan hibah orang tua terhadap anak melebihi sepertiga harta warisan.

[1] Muhammad Yasin, Mengenal Hibah-Hibah yang Dibatalkan Pengadilan dalam Praktikhttps://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-hibah-hibah-yang-dibatalkan-  pengadilan-dalam-praktik-lt60d2ae4c3d653/, Diakses pada tanggal 2 Novenber 2023.

[2]  Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Indonesia : Dar al- Ihya al-Kitab, al-Arabiah, tth), hlm.39.

[3] Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata …, hlm. 133.

[4] M. Nashiruddin Al-Albani, Rigkasan Shahih Muslim, diterjemahkan       oleh Elly Lathifah, cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 464-467.

[5] M. Nashiruddin Al-Albani, Rigkasan Shahih …, hlm. 467.

[6] Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata …, hlm. 140.

[7] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo, 2000), hlm. 475.